Keluarga kecilku

Selasa, 19 Oktober 2010

Cemburu Terbit di Ufuk Cinta

Seringkali yang paling mencintai kita
tak menjadi yang paling kita cintai,
dan mungkin pernah yang paling kita cintai
membuat hati kita bagai dirajam duri.

Diantara semua gairah dalam cinta, kecemburuan mungkin sosok paling unik. Ia bagai api, membuat beku saat tiada, menghangatkan ketika tepat ukurannya, dan membakar saat meraksasa. Mari kita berterima kasih pada rasa cemburu, karena dengannya kita menjadi manusiawi, atau tak menuntut kekasih yang kita cintai menjadi malaikat. Cemburu mengajari kita bahwa shalihah tak berarti tak bisa marah. 'Aisyah Radhiyallahu 'anha misalnya, karena cemburu ia pernah berkata kepada suaminya "Engkau ini hanya mengaku-ngaku Nabi!", bukan karena ia ragu tentang kenabian suaminya, hanya karena ia sedang cemburu. Dan cemburu sedang mengajarinya sebuah perasaan, "Jika engkau memang seorang Nabi, saat ini aku sedang tak merasakan keadilanmu. Bukan karena engkau tak adil. Ini hanya perasaanku saja."
Atau pernahkan engkau membayangkan , beristerikan seorang Aisyah bisa berarti pada suatu malam yang dingin sepi, dan kau sedang shalat malam di kamarnya ia akan mengelus-elus kepalamu? Ketika itu sang Nabi sedang menunaikan shalat malam sepulang dari kunjungannya kepada Mariyah Al-Qibtiyah. Maka 'Aisyah meraba-raba kepala beliau, menelusurinya dengan seksama. Dia memeriksa adakah rambut beliau basah? adakah beliau berjinabah dengan Mariyah? Dengan mengelus-elus kepalanya , disaat beliau sedang shalat!.
"Wahai 'Aisya, kau kedatangan syaithanmu lagi..", kata beliau saat itu.
Dan pernahkah engkau membayangkan sahabat, beristerikan seorang Aisyah tak hanya seorang gadis jelita berparas menawan, lincah, cerdas, enerjik, manja, imut-imut dan menyejukkan? Ya. Sang Nabi pernah merasakan bagaimana 'Aisyah membanting pinggan hidangan di depan tamunya. Hidangan itu hais lezat buatan Shafiyah, telah menerbitkan cemburu Aisyah. Dan ia merenggut lalu membantingnya tepat disaat para tamu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Lalu Nabi hanya tersenyum di depan belalak para tamu. Senyum yang diikuti permintaan maaf, "Maafkan ... Ibu kalian sedang cemburu.."
Pernahkah kita merasakan simalakama ini, bahwa orang yang sangat kita sayangi berdiri di hadapan kita untuk melindungi musuh yang paling kita benci? Mungkin langka.. Tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lelaki penuh cinta itu pernah mengalaminya.


Saduran dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, karya Salim A.Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar